Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Baik jenis satwa, tumbuhan, maupun ikan. Namun demikian, kalau pengelolaannya seperti upaya pemanfaatannya tidak sesuai kaidah-kaidah berkelanjutan, maka kemungkinan besar sumberdaya hayati tersebut akan mengalami kepunahan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyak sedikitnya satwa, tumbuhan, dan ikan Indonesia yang masuk dalam daftar merah IUCN dan masuk daftar apendik CITES.
Untuk sumberdaya perikanan, terutama dari jenis ikan komersil, ada salah satu indikator yang menunjukan bahwa jenis ikan tersebut diambang kepunahan, yaitu dapat dilihat dari trend produksi, apakah trend-nya stabil atau memperlihatkan trend yang terus menurun. Sebagai contoh dari jenis ikan yang masuk katagori trend produksi-nya yang terus menurun ini adalah hiu.
Jenis ikan hiu yang masuk kedalam daftar merah IUCN lihat pada tulisan sebelumnya dengan judul: Jenis Hiu di Indonesia yang masuk Res List IUCN.
Tumbuhan, satwa, dan ikan yang sudah masuk daftar merah, umumnya akan masuk kedalam daftar apendik CITES. Karena dipastikan akan ada negara yang mengusulkan jenis satwa, tumbuhan, ikan ke dalam daftar apendik CITES.
CITES berkomitmen terhadap legalitas perdagangan satwa (termasuk ikan) dan tumbuhan terancam punah secara legal. Prinsip utama dari CITES adalah legalitas, keterlacakan / jelas asal usulnya, dan keberlanjutan.
Indonesia yang memiliki sumberhayati yang tinggi juga berkomitmen kuat untuk melestarikan sumberdaya hayati tersebut agar pemanfaatannya-pun dapat berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978, yang selanjutnya membawa konsekwensi terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa liar (termasuk ikan tertentu) yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES.
Apendik CITES adalah mekanisme implementasi satwa, tumbuhan terancam punah melalui katagorisasi. Daftar apendik CITES ada 3, yaitu:
Apendik 1: dimana satwa dan tumbuhan terancam punah yang masuk ke dalam apendik ini dilarang sama sekali diperdagangkan secara internasional kecuali hasil pengembangbiakan yang merupakan turunan ke 2 nya atau farental (F) ke 2 nya,
Apendik 2: dimana satwa dan tumbuhan terancam punah yang masuk kedalam daftar apendik ini, boleh diperdagangkan secara internasional dengan pengawasan yang ketat. Salah satu implementasi apendik 2 CITES ini adalah melalui penerapan mekanisme kuota,
Apendik 3: dimana beberapa negara parties yang memiliki yang bekerjasama untuk mengontrol perdagangan internasional dari satwa dan tumbuhan terancam punah.
Dalam implementasi apendik 2 CITES, negara-negara yang meratifikasi aturan CITES (parties) memiliki dua opsi, yaitu:
1. Management measure atau perbaikan pengelolaan, dan
2. Kontrol perdagangan yang ketat melalui mekanisme kuota.
Kedua opsi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan sekretariat CITES tidak peduli opsi mana yang akan diterapkan oleh masing masing negara (parties). Sekretariat CITES bukanlah ‘polisi’ perdagangan internasional dari satwa dan tumbuhan terancam punah. Pemilihan opsi-opsi tersebut lebih kepada komitmen pelestarian satwa dan tumbuhan terancam punah oleh negara-negara parties.
Opsi perbaikan pengelolaan banyak diterapkan oleh negara negara parties karena alasan kepraktisan dan alasan yang substantif adalah karena faktor ketersedian data yang sangat terbatas. Sedangkan, opsi kontrol yang ketat perdagangannya melalui mekanisme kuota, keunggulannya adalah secara scientific dapat dipertanggung jawabkan karena terukur, namun kelemahannya adalah membutuhkan data yang akurat dan tidak sedikit. Dan data-data tersebut sangat sulit didapatkan kalaupun harus dipenuhi, akan membutuhkan banyak dana dan waktu.
Dalam pelaksanaan opsi perbaikan pengelolaan, dapat berupa: sosialisasi aturan dan tatacara penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pelarangan perdagangan berdasarkan ukuran atau waktu, pelarangan ekspor, pelaporan secara berkala ke sekretarian CITES dan lainnya. Negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina menerapkan aturan pelarangan ekspor, sebagai tindak lanjut hasil COP ke 16 CITES di Bangkok yang memasukan 4 jenis hiu ( tiga jenis hiu martil dan satu jenis hiu koboi) kedalam apendik 2.
Opsi kontrol perdagangaan satwa dan tumbuhan terancam punah yang ketat melalui mekanisme kuota memerlukan data yang banyak, salah satunya adalah data non detrimental finding (NDF) atau besaran penangkapan/pengambilan jenis ikan terancam punah yang tidak akan merusak populasinya di alam. Atau dapat dikatakan bahwa kuota adalah batas maksimal besaran penangkapan atau pengambilan suatu jenis satwa dan tumbuhan yang terancam punah dari alam-nya. Penetapan besaran kuota penangkapan atau pengambilan ikan terancam punah dari alam harus didasarkan kepada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan juga dengan dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non detriment finding, NDF) sebagaimana tertuang dalam article IV CITES. Besaran kuota berlaku untuk satu tahun takwim (Januari-Desember).
Basis data yang diperlukan dalam perhitungan NDF yang kemudian akan menjadi besaran kuota, adalah:
Status populasi atau stock assesment,
Sebaran habitat atau distribusi,
Trend produksi,
Faktor biologi dan ekologi, serta
Informasi perdagangannya.
NDF-----> KUOTA PEMANFAATAN---> KUOTA PENANGKAPAN dan/atau KUOTA PERDAGANGANNYA
Saya ingin memperlihatkan betapa banyak data yang diperlukan. Contoh: Rumus sederhana dari stock atau populasi suatu jenis ikan, adalah:
Populasi = (G+R+E) – (F+N+I)
Dimana:
G = Growth
R = Recruitment
E = Emigrasi
F = Fishing, penangkapan
N = Natural mortality
I = Imigrasi
Umumnya kuota pemanfaatan adalah kuota penangkapan dimana kuota penangkapan menjadi 90% kuota perdagangan ekspor dan 10% nya untuk kebutuhan berbagai kebutuhan dalam negeri, seperti pasar dalam negeri, penelian, pendidikan dan sebagainya.
Beberapa hal yang perlu diingat dari NDF adalah:
1. NDF menggambarkan besaran atau seberapa besar pemanfaatan yang diperbolehkan yang tidak akan merusak populasinya di alam.
2. Tidak ada rumus standar atau metodologi untuk membuat NDF spesies Appendix I dan II. Resolusi Conf. 10.3 berisi rekomendasi mengenai jenis dan sumber informasi yang mungkin dipertimbangkan ketika membuat NDF tersebut. Untuk spesies ikan sangat tergantung dari rezim pengelolaan yang dipakai, aquatic species memiliki keragaman dan kompleksitas yang tinggi, model stock assessment yang bervariasi tergantung habitat dan luas perairannya, tergantung pada sifat dari sumber daya itu sendiri. Article 7 tahun 1995 FAO Kode Etik untuk kegiatan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) juga memberikan pedoman bagi pelaksanaan pengelolaan perikanan yang efektif, yang melekat dalam non-detriment harvesting.
3. Tidak rumus standar perhitungan kuota suatu jenis ikan, satwa dan tumbuhan terancam punah.
4. Dengan terdaftarnya suatu spesies dalam Appendix II CITES, perdagangan internasional hanya diijinkan jika ekspor tidak akan merusak populasi spesies ikan tersebut di perairan alaminya. Untuk sumber daya perikanan, secara umum, persyaratan ini telah ditafsirkan bahwa di negara pengekspor harus memiliki rencana pengelolaan fungsional dan sistem monitoringnya.
5. Merupakan prasyarat NDF untuk melibatkan beberapa aspek, antara lain dasar ilmiah untuk menentukan tingkat berkelanjutan dari populasi.
6. Article IV.2a menjelaskan bahwa sebelum memberikan izin untuk perdagangan dalam spesimen spesies yang termasuk dalam Appendix II, Scientific Authority Negara pengekspor harus menyarankan kepada Management Authority bahwa ekspor tersebut tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies tersebut. Selanjutnya, dalam rangka untuk memastikan bahwa perdagangan spesies Appendix II tidak merugikan kelangsungan hidup spesies di alam liar, Article IV.3 menghendaki Scientific Authority untuk memantau izin ekspor yang dikeluarkan terhadap ekspor aktual dan menentukan kapan ekspor tersebut harus dibatasi dalam rangka "mempertahankan bahwa spesies konsisten dengan perannya dalam ekosistem di mana itu terjadi dan jauh di atas tingkat di mana bahwa spesies mungkin menjadi memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam Appendix I". Setiap kali klasifikasi tersebut dibuat, Scientific Authority wajib menyarankan Management Authority sesuai dengan tindakan yang sesuai harus diambil untuk membatasi pemberian izin ekspor untuk spesimen dari spesies. Salah satu mekanisme tersebut yang telah diadopsi adalah penggunaan kuota ekspor tahunan. Kuota ekspor baik dapat dibentuk secara sukarela oleh Pihak pengekspor, ditetapkan oleh Konferensi Para Pihak atau sebagai akibat dari Significant Trade Review (Review Perdagangan Signifikan).
7. Tanggung jawab untuk menentukan dasar dalam membuat NDF terletak pada setiap Parties. Namun penentuan besaran NDF dapat berubah setelah dikonsultasilan dan telah ditanyakan kepada Sekretariat CITES dan Pihak stakeholder lain.
8. NDF tidak untuk diterapkan di: (1). kawasan konservasi, (2). daerah yang sudah mengeluarkan peraturan larangan pengambilan atau penangkapan ikan, satwa, dan tumbuhan terancam punah di perairan wilayahnya, dan (3) di wilayah perairan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah atau zona wisata. artinya Scientific Authority (SA) ataudalam hal ini LIPI, tidak merekomendasikan kuota dari 3 wilayah katagori di atas. Hal tersebut tentunya pihak Management Authority (MA)-pun tidak akan menetapkan besaran kuota dan juga tidak akan mengeluarkan ijin untuk pengambilan dari ikan, satwa, dan tumbuhan terancam punah yang masuk kedalam apendiks CITES yang diambil atau ditangkap dari 3 katagori wilayah tadi.
8. NDF tidak untuk diterapkan di: (1). kawasan konservasi, (2). daerah yang sudah mengeluarkan peraturan larangan pengambilan atau penangkapan ikan, satwa, dan tumbuhan terancam punah di perairan wilayahnya, dan (3) di wilayah perairan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah atau zona wisata. artinya Scientific Authority (SA) ataudalam hal ini LIPI, tidak merekomendasikan kuota dari 3 wilayah katagori di atas. Hal tersebut tentunya pihak Management Authority (MA)-pun tidak akan menetapkan besaran kuota dan juga tidak akan mengeluarkan ijin untuk pengambilan dari ikan, satwa, dan tumbuhan terancam punah yang masuk kedalam apendiks CITES yang diambil atau ditangkap dari 3 katagori wilayah tadi.
Sebagai gambaran, dalam rancangan kuota penangkapan/kuota perdagangan jenis hiu apendik 2 CITES tahun 2015 dimana tahun 2015 adalah tahun pertama pemberlakuan ketentuan CITES untuk ekspor hiu apendik 2 CITES tersebut, yang disusun oleh LIPI sebagai scientific authority mencantumkan angka 0. Artinya pihak Management Authority tidak boleh memberikan ijin ekspor untuk jenis hiu apendik 2 CITES (hiu koboy dan 3 jenis hiu martil) pada tahun 2015. Angka kuota sebesar 0 didapatkan karena belum tersedianya data/dokumen NDF sebagai prasyarat adanya besaran kuota pemanfaatan (kuota penangkapan dan kuota perdagangan).
Tahun 2015 berarti tidak ada ekspor baik utuh atau bagian-bagian tubuhnya maupun produk turunannya dari jenis hiu yang masuk daftar apendik 2 CITES
hiu martil di tempat pelelangan ikan |
menjual hiu tanpa sirip |
perdagangan sirip hiu |
.
0 komentar: