Deswita Alifia Damayanti

Perempuan, 8 tahun

Kudus, Indonesia

SELAMAT DATANG DI BLOG PERJALANANKU, MY LIFE MY BLOG adalah blog yang menceritakan semua yang saya suka, Inspirasi, dan Motivasi.Selamat bergabung di blog saya, semoga bisa jadi motivasi dan inspirasi bagi anda yang membacanya Semoga Bermanfaat.

Visit My Blog :
=>meditasi09.blogspot.com
=>deswitaku.blogspot.com
=>sangsurya09.blogspot.com
=>deswita16@gmail.com
::
Start
Deswita Alifia D™ Vivi
Shutdown

Navbar bawah

Search This Blog

Kamis, 14 Mei 2015

Wisata di Tana Toraja. Alam, Adat, dan Keramah Tamahan Penduduk-nya yang Mempesona





Menuju Tana Toraja
Tana Toraja berada di bagian utara dari Provinsi Sulawesi Selatan yang berjarak 320 km dari Makassar. Tana Toraja kini terbagi menjadi 2 kabupaten, yaitu kabupaten Tana Toraja dengan ibu kotanya di Makale dan satunya lagi Kabupaten Tana Toraja Utara yang ibu kotanya di Rantepao. Destinasi wisata banyak terdapat di bagian Kabupaten Tana Toraja Utara.
Kami berangkat dari Makassar dengan menggunakan bus yang mewah dengan fasilitas AC, WIFI, dan jok empuk yang dapat direbahkan. Harga tiket bus ini Rp 200 ribu per orang. Bus meninggalkan Makassar pk 21.00. kami pilih duduk di kursi baris kedua dibelakang pengemudi bus. Memilih deret kursi ke dua, lebih karena alasan safety saja. Duduk di baris kedua di belakang pengemudi/supir setidaknya lebih aman, karena biasanya apabila terjadi tubrukan dengan bagian depan bus, secara reflek, supir akan membanting kemudi bus dengan mengorbankan sisi kiri dari bus, bukan bagian sisi dimana supir berada. Kemudian kalau duduk di baris pertama atau persis di belakang supir, itu menjadikan kita tidak bisa tidur pulas, karena kita akan ikut memperhatikan keadaan jalan di depan kita, dan kita seolah ikut mengemudikan kendaraan yang kita tumpangi. Kemudian hal lainnya, duduk di kursi di deret ke dua itu terasa lebih nyaman dari bantingan karena tidak persis berada di atas roda kendaran dan tubuh kita-pun tidak terpontang panting seperti kalau duduk di kursi bagian belakang bus.
Dari Makassar sampai di Pare-Pare, jalanan mulus dan lurus, sehingga cukup enak bisa tidur. Bus istirahat di daerah Kabupaten Barru. Namun karena jam menunjukkan pk 01 pagi, maka jarang penumpang yang turun dari bus untuk makan. Penumpang lebih memilih meneruskan menikmati tidurnya. Namun setelah Pare-Pare sampai Tana Toraja, jalanannya berkelok-kelok dan agak sempit, tipikal jalan di daerah pegunungan. Dari sini mulai dirasakan oleh penumpang yang duduk di bagian belakang bus. Mereka akan sedikit terpontang panting dan akan mengganggu tidur lelapnya.
Pk 04.30 bus kami beristirahat lagi di Makale yang sudah masuk wilayah Tana Toraja. Di Makale ini dikenal dengan salaknya. Tapi tidak cocok kalau pagi subuh begini menyantap salak. Bus berhenti disini untuk memberi kesempatan solat subuh bagi yang melaksanakannya. Kemudian bus berjalan kembali, dan pada pk 06.45 bus yang kami tumpangi sampai di tujuan ahir perjalanan kami di Kota Rantepao. Alhamdulillah, walaupun perjalanan naik bus sekitar 9 jam, tetapi  badan masih cukup segar, hal itu dikarenakan bus yang kami tumpangi sangat nyaman. 
Bus yang kami tumpangi. Makassar-Tana Toraja

 
Duduk di kursi deret ke dua di belakang supir. lebih aman
Di Tana Toraja
Sesampainya di Tana Toraja, kami disuguhi pemandangan alam dataran tinggi dan perbukitan yang cantik dengan Tongkonan (rumah adat toraja) disana sini. Suhu udara Tana Toraja berkisar 150 - 280 dengan kelembaban sekitar 82 - 86%. Dan berada diantara 150 m s/d 2889 m dpl. Dengan suhu udara demikian, udara di Tana Toraja terasa sejuk, sehingga di hotel mewah sekalipun, tidak ada fasilitas AC.
Banyak ragam penginapan dan hotel tersedia di Tana Toraja, terutama di Tana Toraja Utara. Hotel dan penginapan yang paling banyak berada di Tana Toraja Utara karena destinasi wisata kebanyakan berada di kabupaten ini. Tarifnya-pun bervariasi mulai dari Rp 150 ribu/kamar/malam sampai yang > Rp 1,5 juta / malam pun itu tersedia. 
di salah satu hotel di Tana Toraja Utara

Kami berencana di Tana Toraja selama 3 hari 2 malam, disesuaikan dengan budget yang kami punya. Ada 5 target kunjungan kami, yaitu: menyaksikan keindahan alam, melihat Tongkonan (rumah adat Toraja), melihat kuburan, melihat pusat kain tenun, dan ke pasar, dan bonusnya adalah merasakan keramah tamahan penduduk Toraja. Sebenarnya ada satu lagi keinginan, yaitu menyaksikan upacara duka/upacara kematian (rambu solo) beserta adu kerbau-nya. Tetapi yang terahir ini, baru dapat dilihat pada bulan Agustus sampai Desember.
Keindahan Alam Tana Toraja
Alam dataran tinggi dengan perbukitannya, menjadikan alam Tana Toraja begitu indah dan menyejukkan mata. Apalagi pemandangan sawah subur yang membentuk terasering yang berada di lembah lembah diantara dua bukit, yang dapat ditemui di banyak tempat. Sungguh sangat mempesona.
Alam indah di Tanah Toraja Utara
 
Pemandangan Sawah terasering di Tinimbayo, Batutumonga
Lembah yang subur
Keindahan alam yang banyak ditemui di Toraja

Rumah Adat atau Tongkonan
Di Tana Toraja, kemana-pun arah mata dipalingkan, pasti ketemu dengan Tongkonan atau rumah adat atau setidaknya lumbung padi atau alang. Menurut Abdul Azis Said (2004) dalam bukunya yang berjudul ‘Toraja. Simbolisme Unsur Visual Rumah Toraja’: Rumah ada Toraja yang disebut Tongkonan mempunyai peranan yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan kepercayaan Aluk Todolo (Aluk Todolo adalah ajaran leluhur, kepercayaan yang menyembah arwah nenek moyang) terutama dalam pesta adat dan kehidupan ritual lainnya.
Penyelenggaran pesta adat pada tingkat-tingkat tertentu, dilaksanakan dengan mengacu pada konsep kosmologi Toraja, dan berpedoman pada ke empat titik mata angin, dimana Tongkonan sebagai titik pusatnya.
Pembagian utara selatan barat dan timur dari Tongkonan dapat dijelaskan sebagai berikut: bagian utara dari Tongkonan disebut Ulunna lino, yang berarti ‘kepala dunia’. Utara dikonotasikan sebagai: kepala, bagian depan, atasan, bagian yang dihormati, dan dianggap sebagai tempat suci tempat dimana Puang Matua (Tuhan Sang Pencipta menurut ajaran Aluk Todolo) bersemayam. Tongkonan selalu menghadap ke arah utara ke arah ulluna lino (kepala dunia). Tata hadap tongkonan merupakan ungkapan simbolik sebagai penghormatan dan pemuliaan kepada Puang Matua. Segala upacara adat untuk memuja atau memuliakan Puang Matua dilaksanakan di bagian utara Tongkonan. Sedangkan bagian selatan dari Tongkonan atau disebut pollona’ lino, yang berarti ‘ekor dunia’. Bagian selatan dikonotasikan sebagai: kaki, bawahan, ekor, pengikut, dan tempat kotor. Roh-roh orang yang telah meninggal dipercaya akan mengadakan suatu pelayaran ke suatu tempat yang disebut alam Puya (Puya adalah alam sesudah mati), itu berada di bagian selatan Tongkonan. Sedangkan bagian timur dan barat dapat dijelaskan sebagai berikut: timur diidentifikasikan sebagai tempat terbitnya matahari, rampe mata allo (rampe=sisi, allo= matahari),yang dikonotasikan sebagai ‘kehidupan’, dan dianggap mewakili tentang; kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan. Sedangkan barat dihubungkan dengan terbenamnya matahari, rampe matampu, yang merujuk kepada ‘kematian’ atau sebagai mewakili unsur: gelap, kedukaan, dan semua hal yang mendatangkan kesusahan.
Dinding Tongkonan dan Alang diukir dengan ragam hias tradisional Toraja. Namun, tidak semua tongkonan atau alang dihiasi dengan ukiran, karena beberapa motif ukiran merupakan simbol status sosial bagi oaring orang tertentu dalam masyarakat Toraja, sehingga penerapan motif-motif tertentu harus disesuaikan dengan aturan adat dan tradisi.
Menurut Stanislaus Sandarupa (2014): Pembangunan Tongkonan dan Alang mengikuti norma filsafat relasi keharmonisan tallu lolona, a’pa’ tauninna, atau tiga pucuk kehidupan, empat tambuni yang berbasis pada nilai tertinggi yaitu kesatuan dan keutuhan. Ketiga pucuk kehidupan itu meliputi manusia (lolo tau), hewan (lolo patuoan), dan tanaman (lolo tanaman), sedangkan yang ke emapat adalah pengkanorongan atau merendahkan diri, bersujud di depan Tuhan
Sedangkan tentang bentuk atap dari Tongkonan dan alang, beberapa ahli antropologi menyebut bahwa bentuk atap Tongkonan maupun Alang adalah bentuk perahu, dimana masyarakat Toraja menghormati leluhurnya, yang dulunya datang ke Tana Toraja menggunakan perahu. Tetapi beberapa tetua disana, menyebut atap tongkonan itu sebagai bentuk tanduk kerbau. Bagi masyarakat Toraja kerbau adalah tedong goronto’ eanan atau simbol status sosial, simbol pokok harta benda.
 
Tongkonan di Sa'dan

 
Tongkonan di Kete' Kesu
 
Tongkonan di masyarakat
 
Tongkonan di Sa'dan
 
Ruang utama Tongkonan
 
Tongkonan di Tana Toraja Utara
 
Tedong atau kerbau, hewan spesial di Tana Toraja
Wisata Kuburan
Bagi masyarakat Tana Toraja setelah kematian ada kehidupan lagi (puya). Puya berada di langit dan suci, sehingga tidak ada mayat masyarakat Toraja yang dimakamkan dengan cara dikuburkan di dalam tanah. Mayat harus disemayamkan di liang yang berada dinding-dinding gua atau di dalam batu. Letak liang menandakan status sosial janazah yang meninggal. Semakin tinggi letak kuburannya semakin tinggi pula status sosialnya.
Bagi kepercayaan masyarakat Toraja,  orang yang sudah meninggal dianggap belum mati sesungguhnya, sampai mayat itu diupacarakan. Sehingga mayat yang ada di dalam gua, di dalam batu, banyak diberikan sesajen seperti rokok, minuman, dan makanan.
Mgr. John Liku Ada (2014) dalam buku Solusi Membangun Toraja, menjelaskan bahwa sampai sekarang orang Toraja dikenal dengan upacara kematian tradisional semarak disertai pengorbanan hewan dan harta benda lainnya secara berlebih-lebihan. Motif asli dari ritual semacam itu tentu saja bersifat religious. Pemahamannya adalah bahwa di alam setelah kematian (puya) masih memerlukan kebutuhan-kebutuhan materil, seperti waktu hidup di dunia ini. Oleh karena itu, dalam kepercayaan Aluk Todolo, tidak terbayangkan bahwa seseorang dikuburkan tanpa upacara dengan pengorbanan sekecil apapun. Diyakini bahwa apabila seseorang yang meninggal tidak membawa apa apa, maka arwahnya hanya akan tinggal di atas bukit dengan makan angin. 
Kuburan di dalam batu besar di Batutumonga
 
Kuburan di dalam batu di Batutumonga
 
Liang di dalam batu untuk menempatkan mayat
 
Kuburan di dinding bukit di Kete Kesu
 
Tulang Belulangnya berserakan di Kete Kesu
 
Tau Tau, patung replika yang dikuburkan di Kete Kesu
 
Kuburan di dalam gua di Londa
Pusat Kerajinan Kain Tenun Sa’dan
Disini anda dapat menyaksikan sendiri nenek tua yang sedang memintal benang dari kapas atau sedang menenun sebuah kain.
Kain tenun Sa’dan dijual mulai Rp 150rb.
Dan jangan lupa di komplek yang sama ini juga anda dapat menikmati Tongkonan yang megah
Kerajinan tenun di Sa'dan
 
Menenun di Sa'dan
 
Menjual hasil tenunannya
Pasar Rantepao
Di pasar ini selain menjual barang kebutuhan pokok masyarakat juga banyak dijajakan oleh oleh atau cinderamata khas Toraja. Harganya juga sangat terjangkau, harga kaos oblong hanya Rp 40rb, harga baki ukiran kayu hanya Rp 50rb, kain khas toraja mulai dari Rp 100rb dan lainnya.
Pasar Rantepao

Disinipun ada yang menjajakan batu akik khas Sulawesi Selatan yaitu akik ‘sisik naga’, harga yang sudah jadi batu ali tanpa pengikat nya (cincinnya) mulai Rp 50rb dan yang masih berupa batu, harganya mulai Rp 150rb.
Demam batu akik
 
Batu akik, sisik naga
Yuk berwisata ke Tana Toraja
Beberapa reasoning kenapa berwisata ke Tana Toraja:
1.   Sangat unik sangat mempesona, itulah ungkapan jujur saya ketika mengunjungi Tana Toraja. Adat budayanya unik dan keindahan alam nya yang begitu indah. Apalagi masyarakatnya yang keturunan Austronesia yang mirip suku Nias di Sumatera Utara, sangat ramah dan sopan. Mereka bisa begitu karena mereka umumnya adalah masyarakat agraris. Dimana dalam kehidupan sehari-harinya harus menjunjung kesabaran dan bergotong royong (solider dengan masyarakat lainnya). Dalam masyarakat agraris, menunggu berbulan-bulan untuk dapat memanen tanaman budidayanya adalah hal yang sudah biasa.
2.   Keunikan dari adat budaya Toraja sudah diusulkan sejak tahun 2009 ke UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia. Menurut UNESCO, warisan budaya mencakup; (1) harta benda peninggalan nenek moyang, pusaka yang memiliki nilai sejarah, arkeologis, ilmiah dan lainnya, seperti; monument, bangunan, keris, dan kain tua, (2) alam yang indah, gua bersejarah, dan habitat keragaman jenis yang hamper punah, dan (3) lanskap budaya yang mencakup kombinasi antara nilai-nilai alam dan budaya yang memperlihatkan interaksi yang signifikan antara manusia dan lingkungan alam (Adam dalam Stanislaus Sandarupa (2014) dalam buku ‘Solusi Membangun Toraja’),
3.   Kebudayaan itu dinamis, selalu ada perubahan (Selo Sumardjan). Bahkan Bupati Toraja Utara, Frederick Batti Sorring (2014) dalam buku ‘Solusi Membangun Toraja’, menggugat agar  ada pemaknaan kembali terhadap budaya masyarakat Toraja khususnya yang berkaitan dengan upacara kematian (Rambu Solo) yang sangat costly.
Marilah datang ke Tana Toraja, sebelum perubahan itu tiba.
 
Tedong bonga atau kerbau belang yang harganya bisa ratusan juta


0 komentar:

Energy Saving Mode
Gunakan Mouse untuk Keluar Mode Energy Saving